Peningkatan PHK Berdampak pada Iuran BPJS Ketenagakerjaan
ILUSTRASI. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), di mana jumlah pekerja terkena PHK Januari-September 2024 mencapai 52.993 orang. KONTAN/Baihaki/13/9/2024
Reporter: Nadya Zahira | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) hingga September 2024 relatif masih tinggi.
Hal ini tercermin dari data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), di mana jumlah pekerja terkena PHK Januari-September 2024 mencapai 52.993 orang.
Angka ini meningkat 26% secara year on year (YoY), dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Menanggapi hal ini, Perencana Keuangan Mike Rini menilai bahwa peningkatan jumlah PHK bisa berdampak terhadap pertumbuhan iuran BPJS Ketenagakerjaan. Ia menjelaskan, ketika jumlah peserta berkurang akibat PHK, secara logis akan ada penurunan dalam total iuran yang diterima.
Namun, Mike menegaskan, dampaknya tidak selalu linier karena sebagian pekerja yang di PHK, kemungkinan besar tetap membayar iuran secara mandiri untuk menjaga keberlangsungan jaminan sosial mereka. Selanjutnya, menurut dia, peningkatan jumlah peserta baru dari sektor lain atau usaha baru bisa mengimbangi sebagian dari iuran yang hilang.
Selain itu, Mike mengatakan bahwa BPJS Ketenagakerjaan memiliki program dan skema kepesertaan, termasuk untuk pekerja informa dan wirausaha yang dapat membantu memitigasi dampak PHK.
"Meski begitu, saya rasa jika tren PHK terus meningkat hingga tahun 2025, tentu ada tantangan bagi BPJS untuk memaksimalkan pertumbuhan iuran," kata dia kepada KONTAN, Selasa (29/10).
Di sisi lain, Mike mengatakan untuk program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sendiri, pekerja akan mendapatkan manfaat uang tunai sebesar 45% dari upah terakhir (maksimal Rp 5 juta) selama 3 bulan dan 25% untuk 3 bulan selanjutnya.
Dengan begitu, dia menilai jumlah Rp 5 juta tersebut masih cukup membantu para pekerja yang terkena PHK.
Namun, terkait apakah Rp 5 juta selama 6 bulan itu cukup di masa sekarang, menurutnya tergantung dari beberapa faktor salah satunya seperti domisili.
Jika di kota besar seperti Jakarta, Mike bilang, Rp 5 juta selama 6 bulan kemungkinan besar kurang mencukupi.
Sedangkan di kota-kota kecil relatif cukup. Selain itu, juga tergantung dari tanggungan keluarga, di mana bagi yang memiliki tanggungan besar, maka jumlah tersebut kurang memadai.
“Lalu selanjutnya tergantung juga dari gaya hidup dan kebutuhan (pengeluaran) tiap orang yang berbeda-beda. Kondisi ekonomi saat ini dengan inflasi dan kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, nilai riil dari Rp 5 juta mungkin tidak sebesar saat program pertama kali di rancang,” jelas Mike.
Dengan demikian, menurut Mike meskipun manfaat ini sudah cukup membantu sebagai jaringan pengaman sementara, ada beberapa alasan mengapa manfaat tersebut mungkin perlu ditingkatkan.
Misalnya, Mike bilang, nilai nominal perlu disesuaikan dengan inflasi secara berkala, memperpanjang durasi manfaat dari 6 bulan ke 12 bulan, serta meningkatkan persentase upah terakhir yang menjadi dasar pemberian manfaat.
“Namun harus diingat bahwa peningkatan manfaat harus diimbangi dengan perhitungan aktuaria yang tepat untuk menjaga keberlangsungan program dalam jangka panjang,” imbuhnya.
Yang tak kalah penting, ia menilai bahwa program JKP harus diperkuat dengan program pendukung, seperti pelatihan keterampilan dan bantuan pencarian kerja.
Berita Terkait
Jukir Wafat Saat Bekerja, Ahli Waris Terima Santunan BPJS Ketenagakerjaan
Kamis, 31 Oktober 2024
BPJS Ketenagakerjaan Jabar Berikan Manfaat Perlindungan Rp 15,17 Miliar ke Pendidik Agama
Kamis, 31 Oktober 2024
BPJS Ketenagakerjaan Lindungi Pekerja Konstruksi di IKN
Kamis, 31 Oktober 2024
BPJS Ketenagakerjaan Cabang Jakarta Gambir Salurkan APD
Kamis, 31 Oktober 2024
Layanan Chat TanyaBPJAMSOSTEK